Perluasan
RUU Pasal Zina Mengancam Dan Menghancurkan Ranah Privasi Dan Meningkatkan Kriminalitas
Warga
Oleh Natalia Sari
Sejumlah warga menginisiasi petisi untuk
menolak perluasan pasal zina dalam draf rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana ( RKUHP) yang tengah dibahas oleh DPR dan Pemerintah. Dalam pasal 483
ayat (1) huruf e RKUHP dinyatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang
masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan
dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun”.
RUU pasal zina ini mulai di bahas
sejak tahun lalu dan masih dibahas sampai sekarang. DPR dan pemerintah masih
membahas perluasan pasal ini sampai detik ini dan belum memutuskan bagaimana
pasal ini kedepannya. Respon masyarakat, tidak sedikit masyarakat pro kontra .
Tetapi tidak sedikit juga yang kontra terhadap pembahasan RUU tsb , karena
merasa akan mengganggu hak privasi setiap orang. RUU pasal zina sendiri sedang
menjadi pembahasan oleh DPR. Warga yang memiliki pandangan dan berpikiran luas
dan panjang , akan berpikir untuk menolak RUU tsb. Karena menimbulkan tidak
adanya privasi setiap warga. Setiap warga akan berlomba-lomba menjadi polisi
moral disetiap waktu dan juga mengganggu kebebasan . Setiap orang akan merasa
memiliki kepentingan dan hak untuk menggrebek dan juga menghakimi seseorang.
Pasal-pasal yang memang menimbulkan
kriminalitas suatu kelompok meningkat harus dihapuskan. RUU tsb dilanjutkan
bahkan diperluas oleh DPR karena sejak 2015 sudah ada pengajuan tentang RUU tsb
dan ditolak oleh MK , dan baru desember 2017 kemarin DPR mulai meninjau kembali
untuk perluasan RUU tsb. perluasan
pasal zina akan menimbulkan korban dari kelompok rentan. Pertama, korban
perkosaan yang tak bisa membuktikan perkosaan atau jika pelaku perkosaan
mengaku suka sama suka. Kedua, pasangan tanpa surat nikah, termasuk nikah siri,
poligami, dan nikah adat yang tak dapat membuktikan secara hukum perkawinan
mereka.
Seperti kasus yang beberapa waktu
lalu terjadi , seorang pemuda ditemukan dikost bersama pacarnya dan diarak
telanjang oleh warga bahkan RT sekitar itu. Dan setelah dibuktikan ternyata hal
tsb tidak benar adanya , tidak ada perzinahan. Itu sebelum adanya RUU tsb ,
bagaimana jika ada RUU tsb ? Dan ormas-ormas yang merasa menjadi polisi moral yang
sangat benar menangkap asal seluruh warga yang ternyata tidak berbuat mesum
tetapi menurut mereka berbuat demikian ? . Ini sangat menghilangkan sila ke 2
dan 4 , RUU ini tidak ada musyawarah dengan warga dan justru dari yang
berkembang sekarang banyak sekali warga yang menolak karena mengganggu privasi
dan tindakan ormas yang akan lebih parah lagi.
Dampaknya pasti akan menimbulkan
keresahan , terutama juga bagi orang yang memiliki pasangan. Tidak selalu jika
berduaan itu melakukan zinah. Tetapi jika RUU ini diberlakukan maka ormas-ormas
tsb akan berpegang teguh terhadap RUU tsb dan main asal tangkap. Dan juga hal
tsb akan membuat perlakuan-perlakuan atau kejadian serupa yang main hakim
sendiri akan banyak terulang dan malah memecah persatuan Indonesia.